SULUT
92 anak di Sitaro jadi korban kekerasan, Pemda siapkan program Gercep Tada

PANTAU24.COM – Kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro). Selang tiga tahun terakhir, 92 anak tercatat menjadi korban. Melihat kondisi ini Pemerintah Daerah Sitaro kini tenga menyiapkan program inovasi Gerakan Cepat Tanggapi dan Dampingi (Gercep Tada).
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sitaro mulai memperkenalkan inovasi Gercep Tada ini. Program ini berangkat dari keresahan atas tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Sitaro.
Sesuai data Dinas P3AP2KB tahun sejak 2022 hingga 2024 tercatat sudah terjadi 53 kasus rudapaksa, ada 26 kasus percabulan, dan sebanyak 4 anak yang berhadapan dengan hukum, serta dua kasus vido asusila.
Menurut Kepala Dinas P3AP2KB, Febiola Papona, ada tiga hal masalah penting yang terdeteksi yakni banyaknya kasus yang tidak terlapor, akses ke Dinas P3AP2KB yang sulit karena faktor geografis daerah di Sitaro, serta penanganan kasus di kepolisian masih lambat.
“Karena itu, dicetuskan inovasi Gercep Tada, dengan tujuan agar korban mendapatkan layanan, penanganan, dan pendampingan secara cepat, tepat dan komprehensif dengan pemulihan korban secara fisik dan mental,” kata Papona.
Inovasi ini mengacu pada Undang – undang (UU) nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan UU nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Nantinya tidak hanya untuk anak tetapi berlaku juga untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, karena datanya juga cukup tinggi,” ujar dia.
Papona menjelaskan cara kerja Gercep Tada, dimana Dinas P3AP2KB akan membuka layanan atau menerima aduan di kantor secara langsung, dan yang kedua melalui aplikasi media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Massenger, maupun telepon dan SMS.
Setelah menerima laporan, Dinas akan melakukan verifikasi terlebih dahulu, kemudian melakukan penjangkauan dan lanjut ke tahap konferensi pengelolaan kasus.
Ada empat tahapan penanganan, dimulai dari penampungan sementara, melakukan mediasi, pendampingan korban dan melakukan rujukan untuk selanjutnya ke tahap konferensi kasus.
“Untuk kasus yang terselesaikan maka kita masuk tahap pengakhiran, sementara untuk kasus yang belum selesai akan kembali ke tahap melakukan penjangkauan,” jelas Papona.
Setiap kasus juga memiliki kode, untuk kasus kekerasan anak diberi kode A, sedangkan untuk kasus terkait perempuan menggunakan kode P.
“Warga bisa mengunjungi akun kami di Facebook atau datang ke kantor untuk bisa mengetahui secara detail,” ajaknya.
Data SIMFONI PPA
Sementara itu, setiap warga negara Indonesia juga bisa memantau data kasus lewat SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang merupakan sebuah sistem informasi yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), untuk mencatat dan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia.
Dari data SIMFONI PPA, di Indonesia sejak 1 Januari 2025 tercatat kasus kekerasan pada anak usia 13 tahun hingga 17 tahun mencapai 2.777 kasus. Sedangkan anak berusia 6 tahun hingga 12 tahun tercatat 1.554 kasus dan usia dibawa 6 tahun sebanyak 601.
Apa kata psikolog?
Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti dalam sebuah artikel di website Universitas Gadjah Mada (UGM) mengecam tingginya kasus kekerasan anak. Ia menyebut pelaku kekerasan anak cenderung punya gangguan kesehatan mental.
“Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja. Sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut,” kata Gamayanti.
Gamayanti menyebutkan ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak terjadi kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis.
Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi. Kondisi di mana anak mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Yang sangat disayangkan, pelaku kekerasan yang paling banyak melakukan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orang tua dalam hal pola asuhnya.
“Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” jelasnya.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak ini umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan.
“Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” tutur Gamayanti.
Dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa.

You must be logged in to post a comment Login