SULUT
Ikan Purba Coelacanth ditemukan di perairan Sulut, diselamatkan nelayan Tagulandang dari pukat

PANTAU24.COM – Spesies ikan purba coelacanth (Latimeria menadoensis) ditemukan di perairan Sulawesi Utara, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Ikan super langka yang diperkirakan telah punah dari zaman dinosaurus ini, ditemukan dan diselamatkan nelayan tradisional di Pulau Tagulandang saat terjaring pukat warga di perairan Pulau Pasige, pada Jumat, 4 Juli 2025.
PANTAU24.com berhasil menghubungi Jendry Ponto, warga Desa Laingpatehi yang ada di Pulau Tagulandang. Ia salah satu nelayan yang berhasil menyelamatkan ikan tersebut.
Jendry melaut bersama tiga nelayan lainnya yakni, Waldi Ponto, Iwan lanaga, dan Labego. Mereka adalah nelayan yang menangkap ikan dasar, dengan alat tangkap pukat.
“Mungkin ikannya masuk atau tabrak pukat itu dari dinihari karena pukat diangkat pagi,” kata Jendry.
Ia bercerita, saat diangkat dari pukat kondisi ikan sudah lemah, karena diduga beberapa jam terjerat pukat nelayan. Beruntung ia mengenali dan langsung mencoba cari informasi di situs pencarian terkait jenis ikan tersebut.
“Memang saat diangkat dari pukat, masih hidup tapi sudah lemah, kemudian kami cari cara untuk menyelamatkan karena saya cari berita dari Google,” ungkapnya.
Jendry kemudian mengambil air laut dan dimasukan ke dalam perahu. Mereka akhirnya berhenti melaut dan memilih menyelamatkan ikan itu dan kembali ke daratan.
“Kami langsung pulang, padahal belum ada hasil, karena ingin mencari informasi di darat supaya bisa menyelamatkan ikan ini,” ucap Jendry.
Ikan coelacanth akhirnya kembali dilepas ke laut pada Jumat sore dibantu beberapa warga. Salah satunya Lusye Blendinger. Ia merupakan pengggiat pariwisata.
“Saya tahu jenis ikan ini, karena saya pekerja pariwisata dari Bunaken, dan tujuan saya di Tagulandang untuk memulai usaha diving. Jadi kurang lebih saya mengerti dan mengenal jenis-jenis ikan,” kata Lusye saat dihubungi, Jumat, 4 Juli 2025.
Lusye menjelaskan, saat dilepas posisi ikan masih kuat dan seha. Ia turut menjaga ikan itu berenang hingga kedalamaan beberapa meter.
“Saat dilepas ikan langsung masuk ke kedalaman 12 meter, dan kami menjaga sampai terlihat sekitar 30 menit,” katanya.
Sebagai penggiat pariwisata, Lusye sangat senang karena ikan purba yang keberadaannya sangat sulit ditemui justru ada di perairan Tagulandang.
Ia berharap Pemerintah Daerah bisa bersama-sama memberikan sosialisasi tentang jenis satwa termasuk ikan langka atau dilindungi, sehingga ekosistem laut di Kabupaten Kepulauan Sitaro terus terjaga.
Dikutip dari beberapa sumber, nama coelacanth berasal dari bahasa Yunani, yaitu coelia (berongga) dan acanthos (duri), yang menggambarkan ikan dengan duri berongga.
Ikan purba ini dapat tumbuh hingga lebih dari enam kaki panjangnya dan mencapai berat sekitar 200 pon atau 90 kilogram.
Ikan coelacanth diketahui hidup pada kedalaman sekitar 100 hingga 500 meter di bawah permukaan laut, yang membuatnya sulit dijangkau dan dipelajari.
Keberadaannya menjadi bukti hidup dari sejarah evolusi yang masih belum sepenuhnya terungkap.
Coelacanth, Ikan purba yang menentang zaman
Berdasarkan catatan dari National Geographic dan Smithsonian Ocean, ikan ini berasal dari garis keturunan yang telah ada sejak sekitar 400 juta tahun lalu, menjadikannya lebih tua dari dinosaurus.
Selama puluhan juta tahun, coelacanth dianggap telah punah karena tak pernah ditemukan lagi, hingga akhirnya pada tahun 1938, seekor spesimen hidup ditemukan oleh nelayan di perairan Afrika Selatan.
Penemuan tersebut dikukuhkan oleh ahli biologi muda bernama Marjorie Courtenay-Latimer, yang kemudian mengabadikan namanya dalam nama ilmiah coelacanth: Latimeria chalumnae.
Kini, para ilmuwan mengenali dua spesies coelacanth: Latimeria chalumnae, yang ditemukan di perairan Samudra Hindia bagian barat seperti di lepas pantai Komoro, Tanzania, dan Madagaskar, dan Latimeria menadoensis, yang ditemukan di perairan sekitar Manado, Sulawesi, Indonesia, dan diumumkan penemuannya secara resmi pada tahun 1999 dalam publikasi ilmiah oleh peneliti Prancis dan Indonesia (Nature, 1999).
Coelacanth sering kali bersembunyi di gua-gua vulkanik bawah laut (Smithsonian Magazine). Aktivitas mereka lebih sering terjadi pada malam hari, dan mereka menggunakan sirip lobusnya untuk “berjalan” di dasar laut, bukan berenang seperti ikan modern lainnya.
Daya tarik coelacanth tak hanya karena usianya yang purba, tetapi juga karena peranannya dalam studi evolusi.
Para ilmuwan meyakini bahwa struktur tubuh coelacanth dapat memberikan petunjuk tentang transisi kehidupan dari laut ke darat pada masa prasejarah, karena sirip lobusnya menyerupai tungkai pada hewan darat awal (Scientific American).
Lebih jauh lagi, menurut studi dari Marine Biology Journal, coelacanth memiliki usia hidup yang panjang, bisa mencapai 100 tahun, dan berkembang biak secara sangat lambat.
Masa kehamilan ikan ini bahkan bisa berlangsung hingga 5 tahun, yang merupakan salah satu periode kehamilan terlama pada vertebrata.
Coelacanth berkembang secara ovovivipar artinya telur berkembang di dalam tubuh induk hingga menetas, dan anak ikan dilahirkan dalam keadaan hidup.
Karena habitatnya yang dalam dan terbatas serta populasinya yang kecil, coelacanth kini dikategorikan sebagai spesies sangat terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Upaya pelestarian terus dilakukan, terutama di wilayah-wilayah habitat aslinya di Afrika dan Indonesia.

You must be logged in to post a comment Login