Connect with us

SULUT

DPRD Sulut soroti penggusuran warga Pondol Keraton, aliansi minta keadilan dan penghentian aktivitas di lahan sengketa

Published

on

DPRD Sulut soroti penggusuran warga Pondol Keraton, aliansi minta keadilan dan penghentian aktivitas di lahan sengketa


PANTAU24.COM – Aliansi Pondol Keraton Bersatu mendapat kesempatan langka menyampaikan langsung keluhan dalam forum resmi Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi I DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

Dalam keterangan pers yang diterima PANTAU24.com pada 12 Juni 2025, perwakilan warga mengungkapkan nasib tragis yang menimpa mereka akibat penggusuran paksa yang dilakukan pada 23 April 2025.

Bagi warga Pondol Keraton, tanggal tersebut ibarat hari kiamat. Dengan tanpa peringatan dan belas kasihan, alat berat berupa eskavator meratakan rumah-rumah serta tempat usaha mereka.

Ironisnya, di antara 17 bangunan yang digusur, terdapat tiga rumah yang tidak tercantum dalam daftar eksekusi resmi Pengadilan Negeri Manado.

Kekacauan tak berhenti di situ. Salah satu rumah yang dihancurkan ternyata masih dihuni oleh pasangan suami istri, Yusuf Akume dan Ety Manopo.

Mereka sangat terkejut dan ketakutan ketika dapur mereka dihantam bucket eskavator, padahal nama mereka tidak termasuk dalam daftar eksekusi.

Peristiwa ini menimbulkan trauma mendalam sekaligus pertanyaan besar tentang prosedur hukum yang dijalankan dalam pelaksanaan eksekusi lahan tersebut.

Aliansi Pondol Keraton Bersatu juga mempertanyakan keabsahan proses jual beli tanah antara BRA Siti Salamah dan Teng Ke Tjiang alias Agus Nangoi.

Dalam persidangan tahun 2007 yang diajukan oleh Henny Angelina Nangoi (anak dari Teng Ke Tjiang) tidak pernah ditampilkan bukti sah berupa Akta Jual Beli (AJB) atau kuitansi transaksi.

Yang ada hanya Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 1 Wenang tertanggal 13 Oktober 1962 dengan luas 2.376 m², yang merupakan bekas Eigendom Verponding (EV) Nr. 64.

Aliansi juga menyoroti Surat Hibah No. 1/HB/Wenang/I/2003 tertanggal 7 Januari 2004 yang dibuat di hadapan notaris.

Namun, menurut penelusuran, terdapat kejanggalan besar: Surat tersebut diterbitkan sepuluh tahun setelah Teng Ke Tjiang meninggal dunia pada tahun 1994.

Fakta ini menimbulkan dugaan pemalsuan dokumen, sehingga Aliansi mendesak agar notaris yang menangani surat hibah tersebut dihadirkan kembali dalam RDP mendatang.

Guna memperkuat argumentasi mereka, Aliansi menyodorkan Surat Pernyataan resmi dari R.A. Soendriani Soerjosutomo (anak dari R.M. Soerjosutomo dan B.R.A. Siti Salamah).

Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa dirinya tidak pernah memberikan kuasa kepada siapapun untuk menjual tanah EV 64 (objek sengketa), serta tidak pernah menandatangani dokumen apapun terkait transaksi jual beli lahan tersebut.

Kekecewaan Warga, Pejabat Terkait Mangkir dari RDP

Ketidakhadiran Ketua Pengadilan Negeri Manado dan Kepala Kantor Pertanahan Manado dalam RDP turut disesalkan oleh Aliansi.

Keduanya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan seharusnya memberikan klarifikasi langsung.

Warga berharap ke depannya, kedua institusi ini bisa dihadirkan untuk menjawab segala pertanyaan serta mengurai benang kusut dari konflik tanah ini.

Menambah kompleksitas perkara, keturunan dari Hamengku Buwono V kini juga menggugat Henny A. Nangoi atas sengketa tanah yang sama.

Aliansi berharap DPRD Sulut dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pengadilan Negeri Manado agar Henny dapat hadir langsung dan berdialog dengan warga pada agenda mediasi selanjutnya.

Mereka juga meminta agar aktivitas di lahan sengketa dihentikan sementara untuk menghindari konflik horizontal antar warga.

Aliansi menegaskan bahwa tindakan penggusuran yang dilakukan secara paksa melanggar sejumlah ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain:

  • Pasal 28G ayat (1) UUD 1945: Menjamin hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda.
  • Pasal 29 ayat (1) & Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999: Menjamin hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.
  • Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2005: Melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan hukum yang setara bagi setiap warga.
  • Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999: Menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
  • Pasal 1 ayat (6) UU No. 39 Tahun 1999: Mengkategorikan penggusuran paksa sebagai pelanggaran HAM jika tidak memberikan penyelesaian hukum yang adil.

Meski Komisi I DPRD Sulut tidak memiliki kewenangan untuk mengubah keputusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), mereka berjanji akan mempelajari kasus Pondol Keraton lebih lanjut.

Komisi juga meminta warga untuk melengkapi dokumen-dokumen penting lainnya yang relevan dengan sengketa lahan ini.

Dalam waktu dekat, Komisi I akan berkoordinasi dengan Ketua DPRD Sulut untuk merumuskan rekomendasi resmi, termasuk pemanggilan ulang pihak-pihak yang belum hadir seperti Kepala Kantor Pertanahan, Ketua PN Manado, dan Kapolsek Wenang.

Aliansi Pondol Keraton Bersatu berharap perjuangan mereka tidak sia-sia. Dengan dukungan penuh dari DPRD dan keterlibatan aktif dari pihak-pihak terkait, warga berharap ada titik terang bagi penyelesaian konflik ini.

Yang terpenting, mereka ingin tanah yang selama ini mereka diami bisa kembali menjadi tempat tinggal yang damai dan legal secara hukum—tanpa lagi dihantui oleh bayang-bayang penggusuran paksa.

***


Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply