Connect with us

Bitung

Sengketa Tanah Eks HGU PT Kinaleosan, Jubir Christian Egam: Tegaskan Jangan Campuradukkan Fakta Hukum

Published

on

Sidang Sengketa Tanah Eks HGU PT Kinaleosan.

Bitung, Pantau24.com, – Juru Bicara Masyarakat Komponen eks HGU PT Kinaleosan, Christian Egam, angkat bicara terkait isu yang kembali mencuat mengenai kepemilikan tanah eks HGU Kinaleosan yang kini tengah disorot publik.

Menurut Egam, perkara yang saat ini disidangkan di Pengadilan Negeri Bitung bukanlah perkara baru, melainkan menyangkut dugaan pemalsuan dokumen register tanah atas nama Hasan Saman.

Ia menegaskan, tanah yang dimaksud merupakan milik keluarga Batuna yang telah bersertifikat hak milik (SHM).

“Perkara ini adalah soal pemalsuan dokumen atas nama Hasan Saman, padahal tanah itu sudah bersertifikat atas nama keluarga Batuna. Ini murni perkara pidana dan tidak ada kaitannya dengan SHM keluarga Batuna,” ujar Egam dalam keterangan tertulis yang diterima media ini.

Fakta menarik dan bermanfaat

Egam juga meluruskan bahwa gugatan 600 warga yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 101 Tahun 2010, tidak menyentuh atau membatalkan sertifikat milik keluarga Batuna.

“Hal itu sangat jelas dicantumkan dalam amar putusan PK tersebut. Putusan aslinya ada pada saya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Egam menilai bahwa pemberitaan sejumlah media terkait surat terbuka yang diajukan ke PN Bitung, keliru dalam memahami atau menyampaikan dasar hukum.

“Saya menduga ada kekeliruan dalam memahami hukum, atau mungkin memang sengaja diarahkan untuk mengaburkan kepastian hukum. Putusan PK MA No. 101 Tahun 2010 tidak bisa dijadikan dasar untuk menggugat atau menganulir SHM milik pihak yang tak terkait, seperti keluarga Batuna,” jelasnya.

Menurut dia, tindakan hukum terhadap dokumen yang diduga palsu adalah langkah wajar dalam negara hukum.

“Perkara pemalsuan dokumen itu memang harus dibuka terang-benderang di pengadilan, agar jelas status hukumnya,” imbuhnya.

Awal Mula Sengketa
Egam mengungkapkan bahwa persoalan ini berawal dari akan berakhirnya masa berlaku HGU PT Kinaleosan pada tahun 2004. Bahkan, sejak tahun 2000, pemerintah sudah menghentikan status HGU PT Kinaleosan dan melalui PP Nomor 40 Tahun 1999, memberikan kompensasi tanah dalam bentuk hak milik kepada perusahaan tersebut.

“Dari kompensasi itu, sebagian lahan diberikan kepada PT Kinaleosan, lalu menjadi sertifikat hak milik atas nama keluarga Batuna. Sisanya dibagi-bagikan kepada banyak pihak, termasuk warga Girian Indah,” jelasnya.


Namun, dari pembagian tersebut, ditemukan adanya 13 sertifikat hak milik yang tidak termasuk dalam hak kompensasi.

“Di sinilah muncul dugaan permainan. Banyak penerima SHM adalah kerabat pejabat BPN Sulut saat itu, bahkan ada yang dari luar Bitung. Ada yang dapat 5 hektare, bahkan ada yayasan yang hampir 10 hektare,” ujarnya.

Masyarakat yang merasa dirugikan lalu mengajukan gugatan ke PTUN Manado. Yang digugat 14 SHM tapi yang dibatalkan oleh putusan PK, hanya 13 SHM. Gugatan itu didukung oleh anggota DPD Sulut saat itu, Aryanti Baramuli, dan diperkuat oleh tim hukum dari IKA PERMAHI Jakarta serta pengacara lokal.

“Dalam gugatan tersebut, kami tidak menggugat SHM keluarga Batuna. Karena menurut para pengacara, beliau memang memiliki hak sebagai pemegang HGU sebelumnya,” tambah Egam.


Gugatan masyarakat terhadap 13 SHM tersebut dimenangkan di tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Penekanan soal Kepastian Hukum
Egam kembali menegaskan bahwa tidak ada hubungan hukum antara putusan PK Mahkamah Agung dengan SHM milik keluarga Batuna.

“Masyarakat dan pihak-pihak yang mengikuti kasus ini harus memahami perbedaan antara perkara pemalsuan dokumen dan status kepemilikan tanah yang sudah diputus oleh PK MA. Jangan dicampuradukkan agar tidak membingungkan masyarakat,” pungkasnya.