Connect with us

Editor's Pick

Ketika warisan Orde Baru menemukan jalannya kembali

Published

on

reformasi

PANTAU24.COM – Dua puluh tujuh tahun yang lalu, rakyat Indonesia meruntuhkan rezim otoriter Soeharto melalui gelombang Reformasi yang membawa harapan besar: demokrasi yang sehat, supremasi sipil atas militer, pemberantasan korupsi, serta keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Namun pada peringatan Reformasi yang ke-27 ini, kenyataan yang kita hadapi justru menyuguhkan ironi yang pahit.

Adalah Prabowo Subianto—mantan menantu Soeharto, tokoh penting Orde Baru, serta sosok yang disebut-sebut terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu—yang kini duduk sebagai Presiden Republik Indonesia. Nama yang dulu dikaitkan dengan penculikan aktivis dan kekerasan negara kini kembali berkuasa, bukan sebagai simbol pertanggungjawaban, tetapi sebagai pemegang kendali penuh atas pemerintahan.

Reformasi awalnya menyingkirkan Prabowo dari lingkar kekuasaan. Ia mengasingkan diri ke Yordania usai keruntuhan Orde Baru, sebelum kembali ke tanah air dan membangun kembali pengaruhnya melalui Partai Gerindra pada tahun 2008. Kini, dua dekade lebih sejak itu, Reformasi seperti kehilangan arah dan substansi.

Wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional yang kembali mengemuka hanyalah satu dari banyak tanda kembalinya glorifikasi masa lalu yang represif. Revisi Undang-Undang TNI membuka peluang besar bagi militer kembali masuk ke ranah sipil, sesuatu yang dulu diperjuangkan untuk dihapus melalui penghapusan dwifungsi ABRI. Bahkan kini, prajurit militer diterima dengan tangan terbuka di institusi pendidikan, termasuk kampus yang semestinya menjadi ruang bebas dan kritis.

Situasi ini diperparah oleh memburuknya upaya pemberantasan korupsi. Penunjukan eks narapidana korupsi Burhanuddin Abdullah sebagai Ketua Tim Pakar Danantara, serta hadirnya mantan tersangka korupsi Hadi Poernomo sebagai Penasihat Presiden bidang Penerimaan Negara, adalah bentuk nyata toleransi kekuasaan terhadap masa lalu yang tercela. Bukannya membangun kepercayaan publik, kebijakan semacam ini justru melemahkan semangat antikorupsi yang pernah menjadi tulang punggung Reformasi.

Pakar politik menyebut Indonesia tengah bergerak mundur menuju otoritarianisme. Demokrasi prosedural memang masih berlangsung—pemilu tetap digelar, partai tetap berkompetisi—namun esensinya, berupa partisipasi rakyat yang bermakna dan supremasi hukum yang tegas, perlahan tergerus.

Hari ini, kita memperingati jatuhnya seorang diktator, tetapi harus pula mengakui bahwa sistem yang ia bangun belum benar-benar tumbang. Ia sekadar berganti rupa—lebih halus, lebih pintar, namun tetap memelihara kekuasaan dengan pola lama. Ini bukan sekadar pewaris, tapi juga pemelihara dari sistem tersebut.

Reformasi adalah janji yang belum selesai. Dan jika kita tidak menjaganya, bukan tidak mungkin masa lalu yang gelap akan menjadi masa depan kita kembali.

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply