Bolmong
Membedah akar masalah PPPK Bolmong
Mereka yang tidak memenuhi syarat sebaiknya “sadar diri”.

PANTAU24.COM – Suasana Galazka Café di Kota Kotamobagu tampak berbeda pada Sabtu malam, (10/5/2025). Tempat itu menjadi saksi percakapan serius tentang sesuatu yang sejak beberapa waktu terakhir menjadi gunjingan publik: kisruh seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).
Diskusi bertajuk “Kisruh PPPK Bolmong: Dari Bodong hingga Saling Todong” itu mempertemukan pandangan dari tiga sisi: birokrat, aktivis, dan praktisi hukum.
Ketiganya memberikan gambaran utuh bahwa masalah PPPK di Bolmong bukan sekadar soal administrasi, tetapi telah menjelma menjadi persoalan sistemik yang menyentuh akar integritas birokrasi.
Sadar diri, kalau belum cukup syarat
Rivai Mokoagow, seorang birokrat di lingkungan Pemkab Bolmong, tak menutupi kekhawatirannya.
Dengan nada tegas, ia menyebut bahwa proses seleksi PPPK secara normatif dilaksanakan oleh setiap SKPD.
Namun, ketika muncul dugaan adanya peserta bodong, maka setiap jajaran pemerintahan harus bertanggung jawab.
“Misalnya di sekolah, ada kepala sekolah. Maka dia harus pastikan bahwa peserta seleksi memang benar-benar telah menjadi honorer minimal dua tahun,” tegas Rivai.
Menurut Rivai, secara teknis, verifikasi data dapat dilakukan melalui sistem pendataan seperti Dapodik. Data itu mencatat sejak kapan seorang guru mengajar.
“Kepala sekolah tinggal memberikan pernyataan bahwa yang bersangkutan memang mengabdi. Kalau tidak sesuai, ya jangan dipaksakan,” tambahnya.
Ia bahkan menyarankan dengan keras agar mereka yang tidak memenuhi syarat sebaiknya “sadar diri”.
“Rezeki tidak hanya di situ. Saya khawatir, jangan sampai meski sudah diingatkan Bupati, masih saja ada yang coba-coba mempertahankan sesuatu yang tidak semestinya,” katanya.
Namun Rivai juga menggarisbawahi bahwa ia hadir dalam diskusi bukan sebagai representasi resmi Pemkab Bolmong.
“Saya hadir lebih ke melihat suasana kabatinan, bahwa sebagai orang dalam sistem yang turut merasakan tekanan publik,” ujarnya lirih.
Meski demikian, ia mengaku yakin masalah ini akan diselesaikan, mengingat atensi kuat dari Bupati, DPRD, dan masyarakat.
Nepotisme menggurita, pengawasan dilemahkan
Sementara itu, aktivis sosial Abdul Nasir Ganggai menyoroti adanya potensi praktik nepotisme dalam proses seleksi PPPK.
Menurutnya, harapan masyarakat agar anak-anak mereka bisa diangkat sebagai ASN terancam oleh sistem birokrasi yang tidak transparan.
“Kalau sistemnya bisa diloloskan dengan titipan, bagaimana dengan anak-anak yang berkualitas tapi tidak punya akses?” ujar Nasir.
Ia menekankan perlunya mekanisme check and balance dalam sistem pemerintahan. “Pemerintah perlu quality control. Tanpa itu, pemerintahan tak seimbang,” tambahnya.
Ia juga mengkritik sikap Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan (BKPP) Bolmong yang dinilainya lambat dalam melakukan mitigasi.
“BKPP harusnya sejak awal identifikasi SKPD yang berpotensi ‘bermain’. Ini amanat Undang-undang, kalau tidak salah Nomor 4 Tahun 2014, syaratnya jelas: dua tahun mengabdi,” kata Nasir.
Menurutnya, kejujuran birokrasi hanya muncul ketika persoalan ini sudah terungkap.
“Kalau tidak mencuat, BKPP diam saja. Tapi ketika ketahuan, baru muncul pengakuan soal titipan. Itu yang sangat saya sesalkan,” tegasnya.
Nasir menyebut persoalan ini sebagai kejahatan sosial yang sistemik dan harus segera diselesaikan agar tidak menjadi penyakit turun-temurun.
Ia juga mengingatkan bahwa isu ini bukan hanya soal administrasi, melainkan integritas dan keadilan dalam sistem perekrutan ASN.
Ia pun menantang DPRD untuk berani menyelesaikan apa yang telah mereka temukan. “Harus lebih jos lagi. DPRD harus menindaklanjuti karena ini menyangkut hak masyarakat,” tegasnya.
Dari nepotisme hingga pemalsuan dokumen: Potensi pidana mengintai
Suara tajam juga datang dari Rudi Satria Mandala Bonuot, seorang praktisi hukum. Ia menjelaskan bahwa dugaan penyalahgunaan wewenang dan pemalsuan dokumen dalam proses seleksi PPPK bisa masuk ke dalam tindak pidana korupsi.
“Dalam hukum, tindakan nepotisme di pemerintahan itu termasuk korupsi. Kalau seorang pejabat meloloskan seseorang karena kedekatan dan menyalahgunakan jabatannya, itu sudah jelas pidana,” papar Rudi.
Ia menekankan bahwa memalsukan dokumen seperti Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) termasuk ke dalam pemalsuan akta otentik menurut KUHP.
“Kalau terbukti, bisa dilaporkan ke kepolisian atau kejaksaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rudi menjelaskan bahwa masyarakat yang dirugikan dapat mencari keadilan melalui berbagai jalur: konsultasi ke LBH, advokat, atau mengajukan gugatan ke PTUN.
“SK PPPK yang cacat prosedur bisa dibatalkan oleh pejabat yang mengeluarkan, atau lewat putusan pengadilan,” kata Rudi, sembari menambahkan bahwa pelapor bisa tetap aman karena identitasnya dapat dirahasiakan.
Menolak lupa, menuntut tuntas
Diskusi hari itu ditutup dengan satu suara: kasus ini harus diusut tuntas. Bukan hanya sebagai penegakan aturan, tapi juga sebagai pelajaran kolektif bahwa birokrasi yang bersih dan meritokratik adalah hak semua warga negara.
“Bolmong ini tanah kelahiran saya,” ujar Nasir.
“Dan saya punya tanggung jawab moral untuk tidak diam melihat kejahatan yang sedang menggurita.”
Dugaan ‘bodong’, titipan, dan penyalahgunaan wewenang dalam rekrutmen PPPK Bolmong mungkin hanyalah satu dari sekian potret suram birokrasi di daerah.
Namun, suara-suara kritis yang mengudara di Galazka Café hari itu adalah penanda bahwa harapan belum sepenuhnya padam.

You must be logged in to post a comment Login