Connect with us

SULUT

PPPK siluman Bolaang Mongondow tampar akal sehat

Published

on

PPPK siluman Bolaang Mongondow tampar akal sehat

Oleh: Sicilya C Mokoginta, SE. MM

PANTAU24.COM – Fenomena “calon PPPK siluman” di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah potret nyata dari carut-marut birokrasi dan mentalitas korup yang masih mengakar di daerah.

Bagaimana bisa, seseorang yang tidak pernah ikut tes, tidak terdaftar resmi, dan tidak memiliki kompetensi tiba-tiba muncul sebagai tenaga honorer? Ini bukan sekadar kesalahan administratif, ini penghinaan terhadap para guru dan tenaga honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi tanpa kejelasan nasib.

Setiap kali ada pergantian rezim, selalu ada ‘rombongan baru’ yang tiba-tiba muncul sebagai calon PPPK tanpa jejak kerja, tanpa seleksi, tapi langsung masuk daftar honor. Rezim berganti, siluman bermunculan.

Padahal, PPPK seharusnya menjadi solusi atas nasib tenaga honorer yang sudah lama mengabdi, bukan jadi ladang sogokan atau proyek balas jasa.

Jika dibiarkan, ini bukan hanya merusak moral birokrasi, tapi juga memperparah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

Harus ada sanksi tegas, transparansi rekrutmen, dan pengawasan ketat dari pusat—jika tidak, maka setiap periode lima tahunan, kita akan menyambut gelombang baru: “Siluman ASN, Jilid Berikutnya.”

Tambah lagi ada selingkuhan pejabat yang diloloskan. Itu lebih parah lagi—bukan cuma siluman, tapi sudah jadi ajang gratifikasi asmara. Ketika selingkuhan pejabat bisa diloloskan jadi calon PPPK tanpa proses resmi, itu bukan cuma penyalahgunaan wewenang, tapi juga penghinaan terang-terangan terhadap sistem meritokrasi dan para honorer yang sah.

Bayangkan: ada guru honorer yang 10 tahun lebih mengajar di pelosok tanpa gaji tetap, tapi kalah oleh “cinta terlarang” yang punya akses ke meja kekuasaan. Ini bukan lagi sekadar nepotisme, tapi prostitusi jabatan—pejabat menjual hak rakyat demi kepuasan pribadi.

Lebih menyakitkan lagi, masyarakat hanya bisa menonton, karena banyak kasus begini disapu bersih, ditutup rapi dengan kekuasaan dan koneksi. Birokrasi kita sakit, dan penyakitnya adalah kolusi, korupsi, dan libido.

Jika pejabat setempat pura-pura tidak tahu. Dalam negara hukum, ini masuk kategori penipuan publik dan korupsi anggaran.

Pemerintah pusat harus turun tangan, audit menyeluruh harus dilakukan, dan para pelakunya—dari aktor utama sampai kaki tangan—harus dicopot dan diadili.

Kalau pemerintah atau aparat serius mau bongkar kasus honorer PPPK siluman, jangan cuma cek berkas—cek jejak nyata di lapangan. Tanya langsung ke murid-murid, guru-guru, dan masyarakat sekitar sekolah atau instansi: “Apakah orang ini benar pernah mengajar di sini? Berapa lama? Siapa saksinya?”

Murid tidak mungkin lupa gurunya. Guru tidak mungkin tidak kenal rekan kerjanya. Masyarakat tahu siapa yang benar-benar mengabdi dan siapa yang hanya muncul saat pengangkatan.

Investigasi berbasis testimoni warga jauh lebih jujur daripada berkas yang bisa dimanipulasi. Ini bukan lagi soal administrasi—ini soal moralitas dan keadilan. Kalau terbukti siluman itu tidak dikenal di lapangan, maka:

  • Harus dicoret dari daftar.
  • Pihak yang meloloskan harus diperiksa.
  • Dan jika ada dana yang sudah keluar harus dikembalikan.

Cukup sudah rakyat dibohongi oleh nama-nama hantu.


Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply