Bitung
Terseret Kasus Hibah, Ketua Sinode GMIM Jadi Tersangka, ini 3 Titik Rawan Tipikor Menurut Advokat Dr. Michael Jacobus

Bitung, Pantau24.com — Penetapan lima tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Pemerintah Daerah kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), termasuk di antaranya Ketua BPMS GMIM Pdt. HA, memunculkan respons dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari Dr. Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H., seorang advokat muda yang dikenal luas di Sulawesi Utara.
Dr. Jacobus yang juga merupakan kader GMIM dan dikenal sebagai doktor ilmu hukum termuda dari Kota Bitung, menekankan pentingnya publik untuk menyikapi proses hukum ini dengan kedewasaan dan pemahaman yang benar terhadap sistem hukum yang berlaku.
“Prinsip dasarnya, penyidik harus sudah memiliki minimal dua alat bukti yang sah sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jadi dalam konteks ini, baik penyidik maupun kuasa hukum tentu yang paling tahu secara spesifik bagaimana konstruksi hukumnya,” ujar Jacobus saat ditemui awak media, Selasa (8/4/2025).
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kasus dana hibah memang memiliki kerentanan terhadap pelanggaran hukum, terutama terkait tindak pidana korupsi.
“Setiap kasus hibah memiliki potensi mengarah pada tipikor jika ada penyimpangan di tiga titik utama, yaitu sejak pengajuan dan pencairan hibah, saat penggunaan dan pelaporannya, atau kombinasi keduanya,” papar lulusan cumlaude Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.
Membedah Titik Rawan dalam Skema Dana Hibah
Lebih lanjut, Jacobus menguraikan bahwa menurut Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, pengeluaran hibah oleh pemerintah daerah harus memenuhi sejumlah syarat pokok, antara lain:
• Peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan,
• Bersifat tidak wajib dan tidak mengikat,
• Tidak dilakukan terus menerus tiap tahun anggaran, kecuali dalam kondisi yang ditentukan secara tegas dalam regulasi,
• Memberikan manfaat nyata bagi penyelenggaraan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan,
• Memenuhi syarat administratif sebagai penerima hibah.
“Jika dana hibah tetap diberikan meski syarat tidak dipenuhi, terlebih dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian pejabat yang berwenang, maka bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,” jelas Jacobus.
Ia mencontohkan, jika hibah kepada GMIM ternyata berlangsung terus menerus setiap tahun tanpa dasar hukum yang sah, maka itu bisa menjadi celah pelanggaran administratif dan bahkan pidana, tergantung dari niat, prosedur, dan pembenar hukum yang dimiliki pemerintah daerah.
“Penyidik mungkin sedang mendalami itu, apakah ada dasar hukum yang cukup kuat dari Pemda, atau justru sebaliknya,” imbuh advokat berdarah Nusa Utara ini.
Bolehkah Dana Hibah Digunakan untuk Diakonia atau Hadiah?
Salah satu isu yang juga mengemuka dalam kasus ini adalah penggunaan dana hibah untuk diakonia atau pemberian hadiah bagi para pendeta dan pihak lain di lingkup gereja. Jacobus menjawab hal ini dengan pendekatan hukum yang rinci.
“Secara yuridis, ini tergantung pada dasar hukum penggunaan dana tersebut. Jika dalam perjanjian hibah antara Pemda dan GMIM disebutkan bahwa hibah tidak boleh digunakan untuk hadiah atau diakonia, maka pelanggarannya bukan pidana, tetapi masuk ranah perdata atau administratif. Hukumannya bisa berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR), bukan penjara,” tegas Jacobus.
Namun lain halnya jika larangan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, pelanggaran bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena dianggap sebagai penyimpangan dari norma hukum formal yang berlaku.
“Ini penting, karena Pasal 2 UU Tipikor sempat dipahami dalam dua bentuk: pelanggaran hukum secara formal dan material. Namun sejak Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 dan 005/PUU-III/2005, pemaknaan pelanggaran hukum dalam Pasal 2 hanya berlaku dalam bentuk formal. Jadi harus ada aturan tertulis yang dilanggar, tidak cukup hanya karena melanggar rasa keadilan,” terangnya.
Langkah Hukum dan Imbauan Bijak untuk Warga GMIM
Ketika ditanya soal opsi hukum yang bisa ditempuh pihak Pdt. HA, Jacobus menyarankan agar langkah yang diambil tetap konstitusional dan rasional.
“Langkah strategis yang bisa diambil adalah membentuk tim advokasi yang kuat. Pertama, bisa mengajukan pengaduan masyarakat (Dumas) ke Mabes Polri untuk meminta gelar perkara khusus. Kedua, bisa mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji legalitas penetapan tersangka,” jelas pendiri MRJ Law Office yang berbasis di Jakarta Pusat ini.
Ia juga merespons isu rencana aksi demonstrasi yang muncul di media sosial. Menurutnya, unjuk rasa sah dalam demokrasi, tetapi harus dihitung efektivitas dan tujuannya.
“Apakah demo itu efisien? Apa targetnya? Jangan sampai hanya emosional. Kita harus berbudaya hukum yang benar,” tegasnya.
Sebagai bagian dari GMIM, Jacobus mengajak seluruh warga gereja untuk menyikapi perkara ini dengan bijak, dewasa, dan berdasarkan prinsip kasih serta keadilan.
“Jika ada pelanggaran dalam organisasi, mari diselesaikan secara internal. Jika ada pelanggaran secara spiritual, biarkan itu menjadi tanggung jawab pribadi kepada Sang Kepala Gereja. Tapi jika ada pelanggaran hukum, maka biarlah proses hukum berjalan. Jangan kita menjadi hakim sendiri. Ukuran yang kita pakai untuk orang lain, akan kembali diukurkan kepada kita,” pesannya.
Ia menutup pernyataannya dengan kutipan teologis yang menyentuh: Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei — “Gereja yang telah direformasi adalah gereja yang (harus) terus diperbarui berdasarkan firman Tuhan.”

You must be logged in to post a comment Login