Connect with us

MATA DESA

DPR Hapus Pasal Kontroversial di RUU KUHAP, Dr Michael Jacobus: Upaya Membungkam Advokat Gagal, Tapi Ancaman Lain Masih Mengintai!

Published

on

Advokat Dr. Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H

Bitung, Pantau24.com – Advokat Dr. Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H., mengapresiasi keputusan Komisi III DPR RI yang menghapus Pasal 142 ayat (3) dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Langkah ini dianggap sebagai kemenangan bagi dunia advokat serta perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dalam proses hukum.
Keputusan tersebut diambil dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI pada Senin (24/3/2025), setelah mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan organisasi advokat.

Mencegah Pembungkaman Advokat
Jacobus menilai bahwa pasal yang dihapus ini sebelumnya berpotensi membungkam advokat dalam menjalankan tugasnya, sekaligus menghambat transparansi hukum di Indonesia.

Kami mengapresiasi keputusan DPR RI untuk menghapus Pasal 142 ayat (3) huruf b dalam RUU KUHAP. Ini menunjukkan bahwa upaya membungkam suara advokat berhasil ditangkal oleh wakil rakyat, sekaligus membuktikan bahwa legislator kita masih peka terhadap aspirasi publik,” ujar Jacobus.

Fakta menarik dan bermanfaat

Dalam draf awal revisi KUHAP, Pasal 142 ayat (3) melarang advokat untuk:
a. Menyalahgunakan hak berkomunikasi dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
b. Memberikan pendapat di luar pengadilan terkait kasus kliennya.
c. Mempengaruhi tersangka atau saksi agar tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

Setelah menerima masukan dari berbagai pihak dalam RDP, Komisi III DPR RI akhirnya sepakat untuk menghapus ketentuan tersebut.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa aturan ini tidak adil bagi profesi advokat dan berpotensi menghambat tugas mereka dalam memperjuangkan keadilan.

Pokoknya kita hapus. Masa advokat sendiri yang dibatasi seperti ini? Sangat tidak fair,” ujar Habiburokhman dalam rapat.

Keputusan ini disambut baik oleh para advokat, termasuk Jacobus, yang sebelumnya menilai pasal ini sebagai upaya membungkam advokat dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

“Advokat bukan hanya pembela di pengadilan, tetapi juga memiliki peran edukatif bagi masyarakat. Jika kami dibungkam, bagaimana publik bisa memahami jalannya suatu kasus dan menilai apakah keadilan benar-benar ditegakkan?” kata Jacobus.

Poin Lain yang Masih Perlu Dikritisi
Meski mengapresiasi langkah DPR, Jacobus menilai masih ada sejumlah ketentuan dalam revisi KUHAP yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Ia menyoroti beberapa pasal yang dinilai masih bermasalah dalam penerapannya.
• Pasal 33 Ayat (2): Keberatan Advokat dalam Penyidikan
Jacobus menyoroti bahwa pasal ini mengizinkan advokat mengajukan keberatan dalam proses penyidikan jika ada pertanyaan yang bersifat menjerat atau intimidatif terhadap kliennya. Namun, ia menilai aturan ini masih terlalu abstrak.

“Keberatan yang diajukan advokat itu efeknya apa? Apakah penyidik wajib mengoreksi? Jika keberatan ditolak, apakah tetap dicatat dalam BAP atau diabaikan begitu saja?” ujarnya.

Menurutnya, pasal ini masih membutuhkan kejelasan terkait mekanisme dan manfaat dari hak keberatan advokat dalam tahap penyidikan.

• Pasal 146 Ayat (4): Tersangka Dapat Menolak Didampingi Advokat
Pasal ini mencantumkan bahwa tersangka atau terdakwa diperbolehkan untuk menolak pendampingan advokat dengan menandatangani berita acara penolakan. Jacobus menilai aturan ini berbahaya, terutama bagi mereka yang menghadapi ancaman hukuman berat.

“Tidak semua orang memahami hukum dan hak-haknya. Pasal ini berisiko besar, terutama bagi terdakwa yang diancam hukuman tinggi seperti 15 tahun penjara hingga hukuman mati. Ada banyak kasus di mana tersangka diintimidasi agar tidak menggunakan jasa advokat,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa prinsip dalam Miranda Rule mengharuskan setiap tersangka yang menghadapi ancaman hukuman berat didampingi kuasa hukum. Ia khawatir aturan ini justru semakin mempersulit akses keadilan bagi kelompok yang kurang mampu secara ekonomi.

• Pasal 197 Ayat (10): Hak Jaksa Mengajukan Saksi Tambahan
Jacobus juga menyoroti ketentuan yang memberikan hak kepada jaksa untuk menghadirkan saksi dan ahli tambahan setelah terdakwa mengajukan saksi meringankan.

Ini rancu. Perkara yang sudah naik ke pengadilan seharusnya sudah melewati tahap penyelidikan dan penyidikan yang matang. Jika bukti yang diajukan advokat terus bisa dibantah dengan saksi tambahan dari jaksa, kapan ujung dari pembuktian itu?” kritiknya.

Ia menilai aturan ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara jaksa yang mewakili negara dengan terdakwa. Menurutnya, setelah advokat mengajukan pembelaan, seharusnya proses berlanjut ke tuntutan tanpa ada penambahan saksi baru.

DPR Diminta Lebih Terbuka Terhadap Aspirasi Publik
Di akhir keterangannya, Jacobus menegaskan pentingnya keterlibatan publik dalam pembahasan revisi KUHAP.

Ia meminta DPR untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas agar masyarakat dapat memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang yang akan berdampak langsung pada sistem hukum di Indonesia.

“Resikonya terlalu besar jika procedure of justice justru tidak berkeadilan. Jangan sampai revisi KUHAP malah melemahkan prinsip due process of law yang seharusnya melindungi hak-hak semua warga negara,” tutup Jacobus.