Bolmong Raya
Penaklukan Negeri: Pretensi Sentimental, Kepercayaan Egoistik, dan Gagasan

Oleh: Reza D. Tohis
(Warga Lolak, Bolmong. Alumni Program Studi Magister Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
“Penaklukan negeri…, bukanlah sesuatu yang ‘nyaman’ jika anda terlalu lama memikirkannya. Hanyalah gagasan yang dapat menembus negeri itu. Gagasan, bukan suatu pretensi sentimental dan kepercayaan egoistik___sesuatu yang biasa anda tegakan, anda ‘sujud-i’, dan anda berikan persembahan-persembahan”. (Joseph Conrad, Heart of Darkness)
Setiap gagasan, yang ada di dalam pikiran setiap orang, mempunyai landasan materialnya atau realitasnya atau kenyataannya. Landasan material itu adalah titik pijak pikiran. Pijakan itu memberikan petunjuk bagi pikiran. Petunjuk itu bersifat teoritis. Sifat teoritis itu, jika dibaca secara tepat dengan kerangka teori tertentu yang tepat pula, maka akan mewujud dalam sebuah bentuk. Bentuk itu, wujud dari petunjuk yang bersifat teoritis tadi, adalah metode. Metode itu, wujud dari petunjuk teoritis yang mucul dari landasan material tadi, ketika digunakan dengan tepat, maka lahirlah sebuah Gagasan (dengan “G” besar). Gagasan itu, hasil dari proses pemikiran yang metodis, teoritis, dan materialistis tadi, memiliki potensi mengubah landasan manterialnya atau realitasnya atau kenyataanya yang semula, menjadi kenyataan, realitas, landasan material yang baru. Dari sinilah perubahan dimungkinkan.
Jadi, Gagasan sudah ada di dalam pikiran setiap orang. Jadi, pikiran mempunyai landasan materialnya. Jadi, petunjuk teoritis ada di dalam materialitas. Jadi, teori dibutuhkan untuk membaca petunjuk. Jadi, metode sudah ada di dalam petunjuk. Jadi, gagasan lahir dari proses pikiran yang metodis, teoritis, dan materialistis. Jadi, gagasan berpotensi menciptakan perubahan.
Oleh karena Gagasan berpotensi menciptakan perubahan, dan setiap orang pasti memiliki Gagasan di dalam pikirannya. Maka setiap orang dengan Gagasannya, yang “bukan suatu pretensi sentimental dan kepercayaan egoistis___sesuatu yang biasa anda tegakan, anda ‘sujud-i’, dan anda berikan persembahan-persembahan, bisa menciptakan perubahan.
Suatu pretensi sentimental tidak akan melahirkan, bahkan bukanlah, sebuah Gagasan. Sebabnya, sangat sederhana dan mudah dipahami, yakni adanya keterpisahan antara landasan materialnya, kerangka teorinya, dan bentuk metodenya, yang merupakan kompisisi bersayarat bagi proses pikiran dalam melahirkan Gagasan. Keterpisahan inilah, salah satunya, yang mengeram dalam pernyataan bahwa praktek lebih pentingdari pada teori, begitu juga sebaliknya. Ada juga yang mengatakan bahwa metode lebih penting dari pada teori maupun materialitas. Bukti-buktinya bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kalangan akademis maupun kalangan sosial. Tapi paling banyak dalam kehidupan sosial, khususnya politik, hanya saja pretensinya mengambil bentuk lain.
Dalam menjelang pentas politik sekarang ini. Pretensi sentimental tersebut tampil dalam bentuk visi-misi dari figur-figur politik tertentu. Umumnya, sering dikatakan bahwa “saya akan melakukan ini…, dan itu…, bila saya terpilih.” Juga dalam slogan-slogan yang dirangkai dengan kalimat-kalimat sedemikian rupa, bahkan kosa kata teologipun diringkus di dalamnya.
Anehnya, visi-misi maupun slogan tersebut, mengandung makna dan bersifat perubahan. Bahkan, visi-misi dan slogan itu dikatakan sebagai gagasan (dengan “g” kecil). Padahal, seperti sudah dijelaskan di atas, pretensi sentimental tidak akan melahirkan Gagasan, bahkan itu bukan Gagasan. Ini akan terbukti dengan sendirinya, ketika visi-misi dan slogan tadi, tidak bisa mencipatakan perubahan, terutama ketika figur-figur politik itu menjadi pengambil kebijakan___buktinya akan dijelaskan di bawah.
Anehnya lagi, pretensi sentimental tersebut___sesuatu yang biasa anda tegakan, anda ‘sujud-i’, dan anda berikan persembahan-persembahan, menjadi sebuah kepercayaan egoistik. Ini terjadi karena pretensi sentimental itu, yang lahir dari keterpisahan proses pemikiran, telah dibiasakan _atau ditanamkan secara elusif_ dalam kehidupan sehari-hari baik melalui institusi (terutama institusi politik, partai misalnya), media informasi, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, masyarakat, khususnya pengikut-pengikut figur politik tertentu, dibiasakan berpikir secara terpecah-pecah (terpisah), tidak utuh. Akhirnya pikirannya juga terpecah-pecah. Kondisi yang demikian tidak memungkinkan untuk memahami secara tepat, terutama dalam membedakan antara pretensi sentimental dan Gagasan. Akhirnya, hanya bisa mempercayai saja pretensi-pretensi sentimental figur-figur politik itu sendiri.
Interseksi antara pretensi sentimental dan kepercayaan egoistik melahirkan pola pikir tertentu, yakni pretensi sentimental menciptakan kepercayaan egoistik, sekaligus menjadi landasan pengukuhan bagi pretensi itu sendiri. Dengan pola pikir seperti ini, maka tidak heran ketika figur-figur politik begitu ‘centilnya’ mengoceh pretensi-pretensi yang mereka anggap dan dianggap gagasan oleh pengikut-pengikutnya, justru dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Pola ini terus berlangsung dalam kehidupan politik, setiap harinya, dan terus meluas sampai ‘merasuki’ kehidupan sosial, dan menjadi sangat kompleks.
Akibat-akibat dari pola pikir seperti itu, khsusunya dalam politik, bisa dilihat pada kebijakan pemerintah Bolaang Mongondow (Bolmong) mengenai ‘Industri Waduk’. Jika kebijakan itu, adalah sebuah Gagasan, yang berarti telah dirumuskan berdasarkan pada landasan material Bolmong, serta secara teoritis, dan metodis, maka Industri itu akan melahirkan perubahan. Misalnya dalam pertumbuhan produktifitas pertanian Bolmong dan hasilnya untuk rakyat Bolmong.
Namun perubahan itu tidak terjadi, tidak ada! Mengapa? Karena tidak ada kesesuaian antara landasan materialnya dengan pretensi-pretensi pemerintah, bahwa waduk _seperti yang sudah diwacanakan kepada rakyat_ akan menyuplai air untuk pertanian rakyat. Tapi yang terungkap ternyata air tersebut akan disuplai kepada ‘Industri Perkebunan Sawit’. Apakah ini sebuah Gagasan? Fakta-fakta di atas adalah implikasi dari pretensi sentimental dan kepercayaan egoistik.
Dari sini, bisa dikatakan bahwa penaklukan negeri tidak hanya dilakukan oleh sistem kapitalisme global, melainkan juga oleh pola pikir, terutama pola pikir politik, tersebut. Dan itu telah terlanjur lama digunakan oleh orang-orang kita sendiri. Ada benarnya pernyataan di atas, bahwa “Penaklukan negeri…, bukanlah sesuatu yang ‘nyaman’ jika anda terlalu lama memikirkannya.” Namun, kita harus tetap terus memikirkannya dengan cara yang utuh untuk membentuk Gagasan agar perubahan tercipta.(**)

You must be logged in to post a comment Login